![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOkdS7r1sv9iTNPG8D0uGo7-SuSMG0yfTTQbFDt61p3vP0I2QdcQiwJ-Aak08hYgnKqTMUuhWo7lNQw6gCPj01nd6vxQ_wO6loISwQZZD7R2V06DUud_-W7Ww8SE1pLBUWQ5cT69gSqPY/s400/otot+polos.jpeg)
Secara embriologi, jaringan otot berasal dari lapisan mesoderm. Jaringan ini terdiri atas sel-sel yang memanjang atau berbentuk serabut yang dapat berkontraksi karena adanya molekul miofibril. Pada vertebrata, secara tipikal mempunyai tiga jenis otot, yaitu otot skelet (rangka), otot jantung (cardiac), dan otot polos.
Otot polos berbentuk seperti spindle. Kontraksi otot polos lebih lambat dinbbandingkan otot skelet, namun mereka mampu kontraksi dalam waktu lebih lama. Otot polos bersifat tidak sadar (involuntary), seperti otot jantung. Otot polos ditemukan pada banyak organ tubuh, diantaranya terdapat pada dinding pembuluh darah dan melapisi organ dalam seperti usus dan uterus. Membran plasmanya disebut sarkolema dan sitoplasmanya sering disebut sarkoplasma. Sitoplasma yang mengandung miofibril dengan ketebalan mencapai 1 mikron.
Jaringan otot polos mempunyai serabut-serabut (fibril) yang homogen sehingga bila diamati di bawah mikroskop tampak polos atau tidak bergaris-garis.
Otot polos berkontraksi secara refleks dan di bawah pengaruh saraf otonom. Bila otot polos dirangsang, reaksinya lambat. Otot polos terdapat pada saluran pencernaan, dinding pembuluh darah, saluran pernafasan.
II. PERMASALAHAN.
Endotelin merupakan peptida vasokonstriktor sangat kuat yang dihasilkan oleh endotelium vaskuler. Endotelin diisolasi pertama kali oleh Yanagisawa dkk pada tahun 1988 Biosintesis endotelin dimulai dengan pemecahan molekul besar preroendothelin, peptida dengan 203 asam amino menjadi big endothelin I proendothelin yang mengandung 39 asam amino. Big endothelin beredar di dalam pembuluh darah dalam bentuk inaktif; selanjutnya endothelin-converting enzyme akan mengubah big endothelin menjadi peptida residu-21 aktif. Sedikitnya ada isoform endotelin, tetapi termasuk dalam satu famili peptida. Semua isoform endotelin mengandung 21 asam amino, perbedaannya hanya terletak pada beberapa asam amino. Endotelin-1 (ET-1) merupakan bentuk yang disintesis dan dilepaskan oleh sel-sel endotel dan banyak dihubungkan dengan penyakit kardiovaskuler. Endotelin-3 mungkin merupakan neuropeptida sedangkan peranan endotelin-2 masih belum jelas Stimulus penting terhadap pelepasan endotelin adalah hipoksi, iskemi, dan shear stress, yang menginduksi transkripsi messenger RNA ET-1
Selain rangsangan fisik produksi endotelin juga dipengaruhi oleh hormon vasopressor seperti epinefrin, angiotensin II, dan arginin vasopressin; transforming growth factor
(TGF ; trombin; interleukin-1. Sedangkan pros-tasiklin, nitric oxide, dan atrial natriuretic hormone menghambat sekresi endotelin.
Sebanyak 75% sekresi ET-1 kearah otot polos vaskuler (albumin) akan terikat pada otot polos dan menyebabkan vasokonstriksi ET-1 dilaporkan dapat menyebabkan vasodilatasi pada dosis rendah dan vasokonstriksi pada dosis tinggi. Respon vasodilatasi ET-1 mungkin disebabkan oleh efek endotelin pada produksi dan sekresi prostasiklin dan nitric oxide
Regulasi tonus pembuluh darah (tonus vaskular) merupakan salah satu faktor penting dalam sistem sirkulasi. Tonus vaskular yang diperankan oleh mekanisme kontraksi dan relaksasi otot polos pembuluh darah, dikendalikan secara neurohumoral oleh rangsangan saraf dan secara lokal oleh endotel Penebalan otot polos (myoproliferation) dinding pembuluh darah akan menyebabkan gangguan pada fungsi regulasi tonus vaskular tersebut
III. TUJUAN DAN MANFAAT
Berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian mekanisme penebalan otot polos pembuluh darah akibat disfungsi endotel yang berhubungan dengan faktor stres, khususnya untuk membuktikan mekanisme penebalan otot polos pembuluh darah akibat peningkatan kadar epinefrin dalam sirkulasi, maka dilakukan pengujian respon otot polos pembuluh darah terhadap pemberian epinefrin. pembahasan ini secara umum bertujuan untuk membuktikan mekanisme terjadinya penebalan otot polos pembuluh darah yang disebabkan oleh pemberian epinefrin. Secara khusus, pembahasan ini bertujuan untuk membuktikan bahwa pemberian stresor epinefrin menyebabkan
(1) peningkatan jumlah inti otot polos pembuluh darah
(2) penebalan tunika media pembuluh darah
(3) penurunan luas area lumen dinding pembuluh darah.
pembahasan ini diharapkan dapat memberikan masukan dan memperjelas teori tentang mekanisme patofisiologi penebalan otot polos pembuluh darah akibat stresor pemberian epinefrin yang berhubungan dengan faktor stres . Dari segi praktisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam membantu untuk menguatkan patogenesis hipertensi dan upaya pencegahan hipertensi
IV. PEMBAHASAN.
Penebalan (proliferasi) otot polos pembuluh darah pada disfungsi endotel dapat terjadi dengan atau tanpa didahului oleh kerusakan endotel pada tunika intima. Pada keadaan vascular injury, disfungsi endotel didahului oleh kerusakan endotel pada tunika intima. Disfungsi endotel juga dapat terjadi tanpa didahului oleh kerusakan endotel, namun akibat ketidakseimbangan antara faktor konstriksi dan faktor relaksasi yang disekresi oleh endotel. Endothelin-1 (ET-1) yang termasuk EDCF (endothelium-derived contraction factors), ternyata berperan dalam penebalan (proliferasi) otot polos pembuluh darah.
Pada disfungsi endotel, peningkatan sekresi ET-1 yang disebabkan oleh rangsangan epinefrin plasma yang tinggi dapat menyebabkan penebalan otot polos pembuluh darah Kondisi stres dapat meningkatkan kadar epinefrin di dalam sirkulasi sampai 50 kali lipat dibanding keadaan istirahat (Alanko dkk., 1992) akibat teraktivasinya sistem simpatoadrenal (Young dan Landsberg, 1998; Spencer dan Hutchison, 1999). Kondisi stres ini timbul karena peningkatan ketegangan hidup yang merupakan dampak dari perubahan pola kehidupan, peningkatan tuntutan kebutuhan serta kompetisi kehidupan yang semakin berat, yang sepatutnya sudah diwaspadai sebagai faktor risiko kejadian penyakit kardiovaskuler dengan angka kejadian sebesar 27- 37% Stres dapat menyebabkan penebalan otot polos pembuluh darah melalui efek yang dihasilkan oleh peningkatan epinefrin plasma, baik melalui mekanisme terjadinya disfungsi endotel pada vascular injury akibat shear stress yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan arus darah pada dinding pembuluh darah, maupun melalui mekanisme disfungsi endotel akibat peningkatan epinefrin yang menyebabkan peningkatan sekresi ET-1 oleh endotel yang masih utuh. Penebalan otot polos pembuluh darah akibat disfungsi endotel melaui mekanisme vascular injury telah banyak diungkap, sedangkan melalui mekanisme peningkatan epinefrin belum banyak diungkap sampai saat ini.
Penelitian yang bertujuan mengetahui respon pembuluh darah berupa proliferasi otot polosnya terhadap stresor pemberian epinefrin, dengan melihat variabel-variabel penebalan otot polos pembuluh darah yakni peningkatan jumlah inti otot polos, penebalan tunika media serta penurunan luas area lumen pembuluh darah ini, ternyata memang menunjukkan proliferasi otot polos pembuluh darah tanpa didahului atau disertai oleh kerusakan endotel. Ini terlihat pada hasil penelitian dimana terjadi peningkatan jumlah inti otot polos (JIOP) pada kelompok Epinefrin (220 ± 45) dibanding kelompok Pretest (110 ± 12), dan peningkatan tebal tunika media (TTM) pada kelompok Epinefrin (63,33 ± 13,8 µm) dibanding kelompok Pretest (27,25 ±2,66 µm).
Peningkatan 2 kali lipat JIOP dan TTM pada kelompok Epinefrin dibanding kelompok Pretest membuktikan bahwa pada endotel yang utuh perubahan struktur pembuluh darah (proses remodeling vaskular) sudah terjadi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Constantinides (1994), bahwa proses remodeling vaskular pada tahap dini arterosklerosis tidak ditemukan kerusakan endotel. Pada tahap ini respon otot polos yang terdapat di bawah lapisan endotel sudah terjadi terhadap bahan-bahan proliferatif yang ada di dalam darah, melalui pelebaran celah antara susunan endotel (tight junction) yang disebabkan salah satunya oleh efek mekanis dari tekanan arus darah ke dinding pembuluh darah akibat peningkatan tekanan darah. Dengan demikian bahan-bahan vasokonstriktor khususnya dalam hal ini ET-1, E dan faktor pertumbuhan dapat berinteraksi dengan reseptor spesifiknya pada membran luar sel otot polos pembuluh darah, yang selanjutnya memicu proses penyaluran sinyal intraselluler ke inti sel untuk proliferasi baik berupa hipertrofi dan atau hiperplasia dilihat juga adanya peningkatan JIOP dan TTM pada kelompok Salin dibanding kelompok Pretest (157 ± 41 dan 33,61 ± 5,12 dibanding 110 ± 12 dan 27,25 ± 2,68).
Hal ini menunjukkan bahwa nyeri yang dihasilkan oleh suntikan i.m pada kelompok Salin yang berfungsi sebagai kelompok kontrol perlakuan juga merupakan stresor yang dapat merangsang proliferasi otot polos pembuluh darah, meskipun tidak sebesar pengaruh yang dihasilkan oleh penyuntikan Epinefrin. Nyeri suntikan yang dihantarkan lewat serabut saraf tipe Aδ dan tipe C ke medulla Mspinalis, traktus neo/paleo-spinothalamicus, kemudian ke talamus dan area korteks dapat direspon sebagai stresor yang akhirnya dapat mengaktivasi sistem simpatoadrenal yang menyebabkan peningkatan kadarepinefrin darah dan tekanan darah.
Jadi dalam hal ini dapat diduga bahwa peningkatan JIOP dan TTM pada kelompok Epinefrin menunjukkan bahwa proliferasi otot polos pembuluh darah pada keadaan ini lebih disebabkan oleh peningkatan Epinefrin plasma, dibanding efek shear stress yang disebabkan oleh peningkatan tekanan darah. Ada 2 alasan penyebabnya yaitu: (a) Pada kelompok Epinefrin, ET-1 yang disekresi endotel mungkin lebih banyak daripada yang dihasilkan pada kelompok Salin, sehingga proses rangsangan proliferasi lebih besar dari jalur ET-1 dari pada jalur shear stress., dan (b) Pada kelompok Salin, efek stresor nyeri hanya akan meningkatkan kadar Epinefrin plasma lebih sedikit (dibanding kelompok Epinefrin), sehingga proses rangsangan proliferasi pada keadaan ini mungkin lebih banyak melalui jalur shear stress akibat peningkatan tekanan darah oleh aktivasi E dan NE pada reseptor β.
Gambaran proliferasi otot polos pembuluh darah dimulai dengan terjadinya hiperplasia dan hipertrofi sel otot polos yang dapat dilihat dengan terjadinya peningkatan JIOP dan TTM, pada Darah Tikus dan akhirnya akan menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah seperti telah disebutkan di atas, terdapat
peningkatan JIOP dan TTM lebih dari 2 kali lipat antara kelompok Pretest dibanding kelompok Epinefrin atau kelompok Salin. Semestinya terjadi menyebabkan penurunan LAL pada kelompok Epinefrin/Salin dibanding kelompok Pretest, namun yang terlihat justru sebaliknya yaitu terjadi peningkatan LAL 2 kali lipat.
Hal ini terjadi mungkin karena terabaikannya pengaruh faktor pertumbuhan dan perkembangan pembuluh darah (maturity effect) pada penelitian ini. Kemungkinan terjadinya peningkatan LAL baik pada kelompok Epinefrin maupun Salin ini akibat bertambah besarnya pembuluh darah secara keseluruhan mengikuti pertumbuhan hewan coba dalam masa perlakuan 2 minggu. Semestinya faktor ini dikontrol dengan menambah kelompok kontrol Posttest yang terpisah (separate posttest) setelah 2 minggu perlakuan.
Selanjutnya, nilai LAL untuk kelompok Epinefrin dibanding kelompok Salin tidak terlihat berbeda (8,548 x 104 ± 3,262 µm2 vs 8,466 x 104 ± 1,110 µm2).
Dengan uji statistik terbukti berbeda tidak nyata (p = 0,939; p>0,05), tidak seperti perubahan yang terjadi pada TTM dan JIOP yang secara statistik berbeda sanga nyata (p =0,000 dan p = 0,001; p< 0,05). Menurut peneliti, hal ini terjadi mungkin karena proses proliferasi otot polos pembuluh darah dalam penelitian ini terjadi ke arah luar
menjauhi lumen (abluminal). Hal ini terjadi karena lapisan endotel pada tunika intima pembuluh darah masih utuh, sehingga tidak terjadi pertumbuhan tunika media (otot polos) baru atau neointimal/myointimal formation ke arah lumen seperti yang sering terjadi pada proses arterosklerosis dengan lapisan endotel yang sudah rusak yang terjadi pada keadaan vascular injury (Soemantri, 2001). Dengan demikian dapat dipahami bahwa LAL pada kelompok Epinefrin dan kelompok Salin hampir sama atau tidak terdapat perbedaan yang nyata.
Berdasarkan Uji statistik MANOVA ternyata secara keseluruhan terdapat perbedaan yang nyata (p < 0,05) dari ketiga variabel tergantung terhadap kelompok perlakuan. Ini menunjukkan bahwa perlakuan stresor pemberian epinefrin memang menyebabkan penebalan otot polos pembuluh darah yang berbeda nyata dibanding kontrol perlakuan (kelompok Salin) ataupun kontrol pretest, Hal ini dikukuhkan kembali dengan hasil analisis univariat terhadap variabel tergantung yang menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05) baik untuk nilai pada masing-masing sampel di dalam kelompok perlakuan (intercept) maupun untuk nilai di antara kelompok perlakuan walapun pada pairwise comparison variabel LAL tidak berbeda secara nyata (lihat pembahasan di atas).
Pada analisis statistik lebih lanjut dengan menggunakan analisis diskriminan yang bertujuan untuk menentukan variabel atau faktor pembeda dari ketiga variabel tergantung tersebut, serta untuk menentukan pola respon penebalan otot polos yang disebabkan oleh masing-masing perlakuan, didapatkan ada 2 faktor pembeda yakni LAL dan TTM (lihat tabel 4 dan tabel 5). Pada pola respon terlihat bahwa yang paling menentukan perbedaan efek setiap perlakuan pada penebalan otot pembuluh darah di antara variabel tergantung adalah pengukuran TTM dan LAL (lihat gafik pola respon penebalan otot polos pembuluh darah ).
Tebal tunika media memang tepat sebagai suatu faktor atau variabel yang membedakan terjadinya proliferasi otot polos pembuluh darah karena variabel ini menggambarkan proses hiperplasia dan atau hipertrofi yang terjadi, berbeda halnya dengan JIOP yang mungkin peningkatannya hanya menggambarkan terjadinya proses hiperplasia otot polos pembuluh darah.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Terjadi penebalan otot polos arteri femoralis yang lebih besar pada kelompok Epinefrin dibanding kelompok Salin, maupun kelompok kontrol Pretest. Pola penebalan otot polos pembuluh darah diperankan oleh tebal tunika media dan luas area lumen arteri femoralis. Stressor pemberian epinefrin secara suntikan menyebabkan penebalan otot polos pembuluh darah.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pengukuran kadar Epinefrin dan kadar Endothelin-1 di dalam darah, agar diketahui dengan pasti efek endothelin-1 terhadap proliferasi otot polos pembuluh darah sebagai akibat rangsangan epinefrin. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jenis stresor yang berbeda. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan rancangan penelitian lain yang dapat mengendalikan pengaruh efek maturitas.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Luscher TF., Noll G., 1993. The endothelium as a regulator of vascular tone and growth. Am. J. Hypertens. (6) 7Bt.2:
2835-2935 (84 ref)
Andrian. novan. 2009. Tugas Otot Polos.Fkh.Usk.banda aceh
Sargowo D., 1996. Peran lipoprotein densitas rendah, Lp (a), malonilaldehide, interleukin-2 sebagai prediktor penyakit jantung koroner. Disertasi. Universitas Airlangga Surabaya
DIKUTIP DARI
http://bebas.vlsm.org/v12/sponsor/Sponsor-Pendamping/Praweda/Biologi/0044%20Bio%202-1c.htm